Jakarta - Di balik angka kekayaan yang fantastis dan gedung-gedung perusahaan yang megah, warisan terbesar yang ditinggalkan oleh Achmad Hadiat Kismet "Met" Hamami justru bersifat intangible: sebuah prinsip dan nilai-nilai bisnis yang terbukti tangguh diuji oleh waktu. Bagi para pengusaha muda Indonesia yang seringkali terpukau oleh kesuksesan instan, kisah Hamami menawarkan perspektif yang lebih dalam tentang apa itu membangun bisnis sesungguhnya. Dari karir militernya yang terhenti hingga bisnis es lilin, lalu menjadi raja alat berat, setiap tahap hidupnya mengandung pelajaran berharga.
Nilai pertama dan paling mendasar adalah integritas dan reputasi. Ketika Caterpillar memilih Hamami sebagai distributor tunggal di Indonesia, itu bukan karena ia memiliki modal besar atau koneksi politik yang kuat saat itu. Modal utamanya justru adalah reputasi bersih dan integritas yang ia bawa dari masa dinas militernya. Dalam dunia bisnis yang kompleks, kepercayaan (trust) merupakan mata uang yang paling berharga dan sulit dibangun. Hamami membuktikan bahwa karakter yang kuat dapat menjadi aset strategis yang membuka pintu peluang terbesar.
Kedua, visi yang melampaui produk. Banyak distributor yang puas hanya sebagai penjual. Namun, Hamami memiliki visi untuk membangun ekosistem yang terintegrasi. Ia tidak hanya menjual alat berat (Caterpillar), tetapi juga menyediakan pelatihan untuk mengoperasikannya (Jatiluhur Training Center), pembiayaan untuk membelinya (Chandra Sakti Leasing), fabrikasi suku cadangnya (Sanggar Sarana Baja), dan bahkan jasa kontraktor untuk menggunakannya (Cipta Kridatama). Visi holistik inilah yang menciptakan moat bisnis yang sangat lebar bagi Trakindo.
Ketiga, ketekunan dan kemampuan beradaptasi dalam menghadapi kegagalan. Setelah pensiun dari militer, Hamami mengalami masa-masa sulit dan harus berjualan es lilin. Ia tidak terlalu gengsi untuk memulai dari nol. Kemudian, di puncak kesuksesan, ia dihadapkan pada ujian terberat: kehilangan penglihatan pada 1999. Alih-alih menyerah, ia beradaptasi dengan memanfaatkan ingatan dan intuisi bisnisnya yang tajam, serta mulai mendelegasikan wewenang. Kedua momen ini mengajarkan bahwa resilience (ketahanan) adalah kualitas esensial seorang pemimpin.
Keempat, komitmen pada regenerasi dan keberlanjutan bisnis keluarga. Hamami memahami bahwa bisnis yang besar harus bisa melampaui sang pendiri. Oleh karena itu, ia mempersiapkan regenerasi dengan sungguh-sungguh, terutama setelah kesehatannya menurun. Ia memberikan tanggung jawab kepada anak-anaknya secara bertahap sesuai dengan minat dan bakat masing-masing: Muki untuk holding group, Bani untuk operasional Trakindo inti, dan Mia untuk diversifikasi ke properti dan ritel. Persiapan yang matang ini memastikan transisi kepemimpinan berjalan mulus pasca wafatnya.
Terakhir, kontribusi pada pembangunan bangsa. Kesuksesan Hamami tidak dilihat sebagai tujuan akhir untuk kekayaan pribadi semata. Melalui Trakindo, ia berkontribusi langsung pada pembangunan infrastruktur nasional seperti Tol Jagorawi, Bandara Soekarno-Hatta, dan bendungan-bendungan besar. Hal ini menunjukkan bahwa bisnis yang sejati selaras dengan kepentingan pembangunan negara. Warisan nilai-nilai inilah—integritas, visi ekosistem, ketekunan, regenerasi terencana, dan kontribusi nasional—yang menjadikan kisah Met Hamami tetap relevan dan inspiratif untuk dipelajari oleh setiap generasi pengusaha Indonesia yang ingin membangun bisnis yang bermakna dan berkelanjutan.