Jakarta - Dalam paparannya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Hanif Faisol Nurofiq memberikan analisis mendalam mengenai penyebab banjir besar yang secara hampir bersamaan melanda tiga provinsi di Pulau Sumatera, yaitu Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Analisis KLHK menyimpulkan bahwa bencana ini merupakan buah dari pertemuan dua faktor besar: fenomena cuaca ekstrem yang datang dari luar, dan kerentanan ekosistem yang telah lama terbangun di dalam. Faktor luar tersebut adalah kehadiran siklon tropis Senyar yang membawa curah hujan dengan intensitas sangat tinggi, melebihi 350 milimeter di beberapa tempat, dalam waktu yang relatif singkat.
Namun, Menteri Hanif menegaskan, hujan deras saja tidak akan menyebabkan kerusakan sehebat ini jika kondisi ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS) masih baik. Faktor dalam, yaitu degradasi lingkungan di sepanjang DAS, telah membuat wilayah tersebut menjadi sangat rentan. Audit lingkungan sementara menunjukkan bahwa tutupan hutan di bagian hulu banyak yang telah berubah menjadi lahan pertanian kering, perkebunan, dan tambang. Perubahan tutupan lahan ini mengganggu siklus hidrologi alami. Hutan dengan kanopi dan seresahnya berfungsi menahan energi tumbukan hujan, sedangkan akarnya mengikat tanah dan membentuk pori-pori untuk meresapkan air.
Ketika hutan hilang, daya tampung dan daya serap DAS terhadap air hujan pun merosot tajam. Air hujan yang seharusnya diserap secara perlahan oleh tanah, justru langsung menjadi aliran permukaan (surface run-off) yang besar dan cepat. Aliran ini kemudian terkonsentrasi di sungai-sungai utama, menyebabkan debit air meningkat secara eksponensial dalam waktu singkat dan akhirnya meluap menjadi banjir bandang yang menghanyutkan segala sesuatu di sekitarnya. Karakteristik setiap DAS yang berbeda, seperti kemiringan lereng dan jenis tanah, semakin memperumit dampaknya.
Baca Juga: Forum DPRD Daerah Penghasil Nikel Bentuk Suara Bersama Kawal Hilirisasi
Oleh karena itu, audit lingkungan yang sedang gencar dilakukan oleh KLHK di tiga provinsi tersebut bertujuan memetakan dengan tepat sejauh mana kontribusi kerusakan lingkungan terhadap besarnya bencana. Audit tidak hanya melihat kondisi hutan, tetapi juga aktivitas spesifik seperti operasi tambang emas, ekspansi perkebunan sawit (termasuk yang dikelola BUMN), dan pembangunan PLTA. Tujuannya adalah untuk mengkuantifikasi seberapa besar masing-masing aktivitas ini mengurangi daya dukung DAS dan meningkatkan risiko bencana.
Analisis ini penting untuk membedakan antara bencana yang murni alamiah (act of God) dan bencana yang diperparah oleh ulah manusia (human-induced). Pembedaan ini memiliki konsekuensi hukum dan kebijakan yang sangat signifikan. Jika faktor manusia dominan, maka upaya pencegahan di masa depan harus difokuskan pada pengaturan aktivitas manusia dan perbaikan lingkungan, bukan hanya pada kesiapsiagaan menghadapi hujan ekstrem.
Laporan analisis lingkungan ini juga akan menjadi dasar early warning system yang lebih kontekstual di masa depan. Pemahaman bahwa DAS tertentu telah mengalami degradasi parah dapat menjadi indikator bahwa daerah hilirnya memiliki kerentanan tinggi meskipun curah hujan yang diterima tidak mencapai rekor ekstrem. Hal ini dapat membantu pemerintah daerah dalam menetapkan zona evakuasi dan membangun infrastruktur pengendali banjir yang lebih tepat sasaran.
Pada akhirnya, analisis yang disampaikan Menteri Hanif mengajak semua pihak untuk melihat bencana banjir Sumatera sebagai sebuah gejala dari masalah yang lebih sistemik, yaitu pengelolaan landscape yang tidak memperhatikan prinsip keberlanjutan. Solusi yang ditawarkan pun harus sistemik, mencakup penegakan hukum, perbaikan tata ruang, rehabilitasi ekosistem, dan penguatan ketahanan masyarakat. Hanya dengan pendekatan terpadu inilah dampak dari fenomena cuaca ekstrem, yang diprediksi akan semakin sering terjadi akibat perubahan iklim, dapat diminimalisir.